Kamis, 29 Oktober 2015

JEDA

Andy menarik nafasnya dalam-dalam. Ia menahannya sementara. Ada jeda sebelum akhirnya ia membuang kembali nafasnya itu ke udara.

Banyak hal yang ia pikirkan dalam sepersekian detik saat jeda tadi. Tentu diantaranya bukan memikirkan bagaimana proses kimia mampu merubah oksigen yang dihirupnya menjadi karbondioksida. Tidak sama sekali. Andy benci pelajaran kimia.

Ia hanya memikirkan Hanum. Segala tentangnya.

Hanum. Andy pertama mengenalnya sepuluh tahun lalu. Saat itu keduanya masih duduk di bangku SMA. Hanum seorang bipolar, setidaknya itu yang ada dibenak Andy saat ini. Hanum selalu bersikap manis padanya. Terlampau manis, hingga Andy tak sadar ketika Hanum tiba-tiba menyakitinya. Meninggalkannya.

***
Andy mematung menatap layar monitor di kamar Rumah Sakit. Layarnya hitam. Hanya ada garis lurus berwarna biru ditengahnya. Membentang dari ujung kiri hingga ujung kanan layar.

Diabetes. Ini semua salahnya. Berkali-kali Andy menyumpahi dirinya sendiri sembari memukul-mukul paha kanannya. Ia menyesal. Jika saja ia tak terlampau mencintai Hanum. Jika saja ia sedikit memberi kekecewaan dalam hidup gadis itu. Membuat hidupnya pahit dan bukannya selalu manis. Jika saja ia memberinya pare atau daun pepaya dan bukannya gula, tentu Hanum tak akan kena diabetes. Begitu pikirnya.

Tapi toh Andy selama ini memilih memberikan gula pada Hanum. Gula yang selalu membuat Hanum tersenyum. Tertawa, hingga terpingkal-pingkal.

Kembali Andy menyalahkan dirinya. Dirinya yang telah kecanduan akan senyum dan tawa Hanum. Dirinya yang begitu memujanya. Dirinya yang mendadak lupa akan pelajaran Ibunya, bahwa sesuatu yang berlebih itu tak baik. Termasuk rasa sayangnya pada Hanum.

***
Andy termenung di atas rooftop apartemennya. Imajinya bergerak liar. Ada sosok Hanum dalam lamunannya. Melihat bintang sembari ditemani secangkir coklat panas. Satu untuk berdua. Sebuah ritual yang biasa mereka lakukan setiap malam di akhir pekan.

Kini tak ada lagi Hanum. Tak ada lagi coklat panas kesukaannya. Ia hanya ditemani bintang serta segelas limun. Ya, Limun. Minuman manis yang mengandung banyak gula. Andy yang tak punya riwayat diabetes memang butuh banyak gula untuk mempersingkat jedanya. Jeda antara dirinya dan Hanum.

***
Dalam diamnya Andy tersenyum. Sewindu tanpa Hanum membuatnya kian dewasa. Andy tak lagi ingin mempersingkat Jedanya dengan Hanum. Ia Paham bahwa akan selalu ada jeda dalam setiap kesempatan. Karena Jeda bukanlah titik, koma, tanda seru atau tanda tanya. Jeda hanyalah spasi menuju kata berikutnya. Jeda ada agar kalimat lebih indah, lebih mudah dipahami hingga tidak ruwet, tidak ribet.

Created: 22 October 2015
Inspired: Karena Jeda ada dalam setiap kesempatan.

Rabu, 28 Oktober 2015

KIBLAT

“Saatnya kita berpisah. Maafkan aku yang telah mampir ke hatimu. Asal kau tahu, dirimu sesungguhnya juga telah hadir di hatiku. Lama sebelum kau sadari itu. Tapi aku tahu kisah kita tak akan abadi. Ada yang salah dengan takdir kita. Kau pasti tahu apa itu. Jadi sebelum semua semakin rumit, aku memilih pergi. Menghilang. Tapi tak melupakanmu. Selamat Tinggal.”
Pesan terakhirmu kerap kubaca berulang kali. Kubaca hingga mataku lelah. Hingga aku tertidur dan bermimpi tentangmu. Tapi mimpi itu tak sama seperti kisah kita dahulu. Kau acuhkan aku. Tak membalas sapaku.
Sudah tiga minggu sejak pertemuanku yang terakhir denganmu. Kau menepati janjimu untuk melupakanku. Tak ada lagi pesan suara merdu darimu. Tak ada lagi kata-katamu yang kerap menginspirasiku. Kau sukses membuatku merindu.
Hingga di suatu pagi aku merasakan desahmu. Suaramu beserta bau nafasmu yang khas membisik telinga kananku. Aku menikmatinya. Masih dengan mata terpejam. Belaimu menyentuh lembut lenganku. Nikmat hingga bulu kudukku merinding.
Aku mulai membuka mataku. Tapi tak ada dirimu. Secepat itukah kau menghilang? Entah ilmu apa yang kau kuasai kini, hingga kau mampu hadir walau tanpa ragamu.
Owhh, jendela kamarku terbuka. Aku tahu kau pasti mampir tadi. Berkunjung diantar angin. Aku tahu sejak lama kau bersahabat dengan angin. Dulu sekali, aku selalu mendengar bagaimana kau memuja angin. Berkata anginlah kekuatan alam yang paling dahsyat. Lebih dari api, air atau  logam terkuat mana pun.
Aku pun membiarkan jendela kamarku tetap terbuka.  Berjaga-jaga jika saja nanti kau sudi kembali untuk mampir kesini. Ke kamarku yang sempit. Kamar yang penuh dengan foto wajahmu. Dengan satu foto utama sebagai kiblatnya. Foto di atas meja yang persis menghadap tempat tidurku. Sengaja aku letakkan meja itu disana, agar aku mudah melihatmu. Agar aku tak pernah lupa betapa indah raut mukamu. Agar aku mengenangmu. Tak lupa di samping kanan kiri fotomu kuletakkan beberapa buah apel. Buah kesukaanmu. Bersama tentu saja dupa. Barang yang setiap pagi kau nyalakan untuk melekatkan doamu pada Tuhanmu.
Hingga siang aku menatap wajahmu. Tak bosan rasanya. Tapi aku harus berhenti sejenak. Aku ingin menghadap Tuhanku, sebab waktu dzuhur telah tiba.
Aku mengambil wudlu. Lalu menuntaskan salat empat rakaatku. Aku berdoa pada Tuhanku untukmu. Semoga kau damai di tempat barumu. Entah Tuhanmu atau Tuhanku saling kenal, aku tak peduli. Aku hanya berucap, tak mengharap dibalas ucap kembali. Yang kutahu aku mencintaimu Lam Bok Sia. Aku Anisa Sakinah.
Created: 11 October 2015
Inspired: a word from NDA at Bright Cafe.