Kamis, 28 April 2016

Tujuh

by: Penyu

Scene 1 - Lentera

Kenapa ada derita, bila bahagia tercipta.
Kenapa ada sang hitam, jika putih menyenangkan.

Hanya sampai situ aku menyimak syair ciptaan eross itu. Selanjutnya lirik lagu terus mengalun dibawakan Duta sang vokalis dari balik speaker kecil yang terhubung dengan PC kotak ‘jadul’ berwarna putih. Sementara pikiranku masih pada dua bait tadi. Coba meresapinya. Memecahkan misteri yang terkandung dalam bahasanya. Sulit buatku, seorang gadis dengan usia yang baru seperempat abad lebih sedikit mengerti arti ikhlas. Merelakan. Dan lalu melupakannya.

Belum juga aku berhasil memecahkan misteri dua bait tadi. Mas Surya, seniorku tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Menatapku sekilas, lalu melangkah menuju sebuah lemari tua yang ada di samping kananku. Menarik lacinya satu persatu. Hingga laci keempat yang paling bawah.

“Cari apa mas?” tanyaku mau tahu.

“Dokumen tua. Nggak penting”

“Jadi kapan kamu bisa berangkat ke Manila?” ganti ia bertanya.

“Secepatnya. Tinggal seorang lagi. Yang ke tujuh. Aku belum bisa menemukannya.”

“Masih kamu dengan rencana itu?”

“Iya.” Jawabku mantap.

“Memangnya kamu mencintainya? Kamu kan tahu itu semua hanya tugas.”

“Mencintainya? Hmm, entahlah mas. Ngomong-ngomong, aku akan secepatnya menyusul ke Manila. Tapi kamu janji ya mas bantu selesaikan urusanku di Jakarta.”

“Hmm, gak janji ya. Btw pokoknya selesai nggak selesai kamu dengan urusanmu itu, minggu depan kamu harus sudah ada disana, aku gak mau tahu.” Nada mas Surya sedikit keras. Seperti sebuah perintah.

Mas Surya menutup keras-keras pintu lemari dorong yang penuh berkas berdebu itu. Ia lalu bergegas pergi, membawa sebuah map bertuliskan “Dokumen BRANI 1948”.

“Siap Mas.” Jawabku. Hanya untuk menyenangkan hatinya.

***

Hidup sebagai anak perempuan satu-satunya, dari bapak seorang dokter gigi dan ibu seorang guru taman kanak-kanak membuatku tak hanya memiliki gigi yang rapih berwarna putih cemerlang, tapi juga diselimuti banyak kasih sayang. Puluhan boneka menjadi peneman tidurku semasa kecil. Bersama sepasang bantal dan guling usang yang berwarna kuning kecoklatan.

Tapi keindahan itu tak berlangsung lama. Bapak dan Ibuku mati muda. Tewas akibat mobil yang dikendarainya dihantam sebuah truk yang dikendarai seorang pemabuk di tol cikampek.

Setelah kematian mereka, aku yang masih berusia delapan tahun harus tinggal bersama adik bapakku. Seorang tentara yang kala itu berpangkat Mayor.

Sejak saat itu tak ada lagi boneka. Waktu senggangku diisi dengan membersihkan bayonet miliknya. Tak ada lagi les balet. Tapi berganti Taekwondo dan Tapak Suci. Semua kuambil sekaligus. Latihannya empat kali seminggu.

***

Handphoneku berbunyi. Di layarnya muncul sebuah nama. Baskara.

"Hallo Lentera." Ia menyapaku.

"Hallo mas."




Scene 2 - ½ Lesung pipi

Sebulan sebelumnya.

Sepoi angin semilir meraba kulitku. Membelaiku dengan dingin. Ia sengaja kubiarkan masuk lewat jendela mobil yang terbuka. Aku suka derai angin ditambah bau tanah yang telah disiram hujan. Rasanya sejuk sekali. Apalagi ada kamu di sampingku. Indah rasanya dunia.

“Kok keliatannya sedih? Ada apa?” Pertanyaan pertamaku memecah kesunyian. Tak biasanya dia diam lebih dari 10 menit di dalam mobil.

Ia tersenyum, lalu menggelengkan kepala. “Gak ada apa-apa.”

“Mahasiswa kamu nakal-nakal?” Tanyaku bercanda.

“Nggak kok. Cuma capek aja.”

“Owh..” Aku tak percaya.

Laju ban membelah genangan air sisa hujan sore tadi. Deru mobil sengaja kuperlambat. Aku masih ingin berlama-lama menikmati momen berdua bersamanya.

“Oh iya Lentera. Jadi mana yang lebih kamu suka, mawar putih atau merah buat dekorasi pesta kita nanti?”

“Merah.”

“Aku mau tanya deh. Kita kan sudah hampir dua tahun pacaran, tapi kenapa kamu masih suka panggil aku pakai nama. Pasangan lain pasti sudah punya panggilan kesayangan.” Tanyanya serius.

“Nama panggilan kayak apa? Beib, Say, Yank? Nggak bagus. Aku lebih suka nama asli kamu. Lentera. Maknanya dalam. Terkesan seperti sebuah harapan.”

Dia tersenyum. Senang.

Hujan mulai kembali turun. Masih gerimis, tapi ada tanda-tanda akan semakin deras. Jendela mobil kembali aku tutup. Tak ada lagi celah bagi angin untuk bercengkrama denganku. Berkali-kali ia mengetuk jendela agar diijinkan masuk. Agar bisa berlindung dihangatnya kulitku. Tapi tak kuijinkan.

Perhatianku pada angin lalu terdestruksi oleh pertanyaan Lentera.

 “Aku mau tanya.”

“Apa?”

“Kalau aku tiba-tiba sakit. Terus meninggal. Kamu terus disuruh pilih perempuan lain. Kamu mau pilih siapa?”

“Kok ngomongnya gitu?” Aku tak suka dengan pertanyaannya.

“Iseng aja. Ayo dong jawab.”

“Ngga adalah. Aku cuma suka kamu.”

“Boong. Gombal. Ayo jawab, seriusan ini nanya.”

“Asli nggak ada.”

“Nggak mau. Harus jawab.”

“Oke-oke. Kalau memang harus jawab, aku mau perempuan yang gantiin kamu harus seratus persen mirip kamu. Wajahnya. Sifatnya. Semuanya. Puas?. Pasti nggak ada kan.”

“Hmm, nggak tau deh. Ada kali.”

“Kalau nggak mirip aku, tapi Chelsea Islan gimana?”

“Hmm, boleh juga sih.” Aku menjawab tak serius sambil tertawa.

“Ihh, genit. Awas ya.” Ia tertawa sambil mencubitku manja.

***

Hujan semakin deras. Dalam kacaunya prosesi ia menuju bumi aku tak lagi menemukan dimana angin. Mungkin ia sedang terombang-ambing oleh serangan bulir-bulir air yang terjun dari atas langit pikirku. Sambil menunggu pesanan big mac kami di Mcstop aku buka sedikit jendela mobil. Dan entah dari mana datangnya, angin kembali masuk. Ia langsung bersembunyi di balik lenganku. Berlindung. Minta jangan dikeluarkan. Ia ketakutan, menggigil karena dingin.

“Oh iya, apa yang membuat kamu tertarik sama aku? Aku kan nggak cantik. Biasa aja.” Pertanyaannya membuatku kikuk.

“Semuanya.”

“Sebutin satu yang paling menarik perhatian kamu?

“Lesung pipi kamu. Sama kayak aku. Cuma setengah. Kamu dibagian kiri. Aku di kanan.”

“Iya yah, nggak kayak kebanyakan orang yang lesung pipinya ada di dua-dua pipinya. Kita cuma ada di satu bagian aja. Beda.”

“kita unik tahu.” Kataku memberi semangat.

"Dan satu lagi. Kamu gak biasa. Kamu cantik. Pakai banget."

Ia tersenyum, lalu melingkarkan tangan kanannya di lengan kiriku. Merebahkan kepalanya di bahuku. Menggusur angin yang sebelumnya bersembunyi disana.




Scene 3 - Tugas Khusus

Handphoneku berbunyi. Di layarnya muncul sebuah nama. Baskara.

“Hallo Lentera.” Ia menyapaku.

“Hallo Mas.”

***

“Iya. Dua jam lagi aku udah bisa pulang. Oke. Aku tunggu ya.”

Sudah jadi ritual bagi Baskara. Seperti biasa, setiap hari kerja Ia selalu menjemputku di kampus. Jam enam sore. Sengaja aku pilih waktu itu, sebab seperti kantor pemerintah lainnya jam kerja kami habis di pukul empat sore. Normalnya. Mengapa aku katakan demikian, berbeda dengan kantor pemerintah lainnya, kantorku sebenarnya tak menerapkan jam pulang itu. Waktu kerja kami justru tak jelas.
Jeda dua jam biasanya aku manfaatkan untuk beres-beres lalu pergi menuju kampus. Tempat Baskara mengira aku bekerja. Menjadi dosen untuk mata kuliah Statistika di jurusan ekonomi salah satu universitas swasta besar di Jakarta.

“Udah mau ke kampus kamu Dik?” Mas Arie menyapaku saat ia masuk ke dalam ruangan dengan sebundel dokumen.

“Iya Mas.”

“Duduk sebentar ya. Aku mau ngomong.” Atas permintaannya mau tak mau aku kembali duduk. Meletakan kembali tas yang sebelumnya telah melingkar di tangan kananku.

“Ini dokumen-dokumen yang mesti kamu bawa minggu depan ke Manila. Surya bilang kamu sudah ready minggu depan.”

“Hah?!” Aku kaget. Tak menyangka mas Surya langsung melapor ke Mas Arie untuk menyiapkan segala perlengkapanku ke Manila.

“Ini Paspor, atas nama Cecilia Oh. Mahasiswi asal Jakarta”

“Ini tiket pesawat Garuda untuk keberangkatan Rabu 13 April. Pukul 14.15. Ingat jadwal keberangkatan kamu itu. Jangan sampai salah jadwal”

“Dan ini uang cash 350 ribu peso. Semua aku jadiin satu di sini ya.” Mas Arie memasukan kembali semua barang yang ia sebutkan tadi ke dalam map coklat yang telah ia bawa sebelumnya. Ia lalu meletakannya di atas mejaku.

“Hmm, tapi mas. Alasan apa yang harus aku pakai nanti jika aku tiba-tiba menghilang begitu saja. Baskara pasti akan mencari aku kemana-kemana. Bisa jadi nanti penyamaranku justru terbongkar.” Aku berargumen supaya tak pergi. Setidaknya tidak minggu depan. Meski aku tahu, mereka pasti sudah punya rencana matang atas menghilangnya aku.

“Sudahlah. Untuk itu kamu gak usah mikirin. Kamu siap-siap saja. Biar itu kita-kita disini yang mikirin. Pokoknya kamu tahu beres.” Jawab Mas Arie santai.

“Oh iya, untuk detail tugas kamu disana nanti, akan kita kirim ke alamat email yang biasa. Password nanti kamu minta sama Nadia.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, mas Arie lalu melengos pergi keluar dari ruangan. Sementara kakiku tak lagi dapat berdiri. Aku hilang tenaga. Aku belum siap menghadapi kenyataan bahwa ini adalah minggu terakhirku bersama Baskara.




Scene 4 - Sosok Penting

Kilatan cahaya saling susul. Menarget objek yang terus bergerak. Berpose demi mencari posisi terbaik untuk mengeksploitasi tubuhnya. Si fotografer juga sama. Tubuhnya ia buat berputar. Kadang mesti naik turun, berusaha menemukan angle yang paling mumpuni. Membuat perspektif yang mampu menjadikan gadis tak kurus tampak langsing. Pipi chubby jadi tirus. Hidung pesek kelihatan mancung.

Bekerja sendiri membuat si fotografer harus sibuk merapihkan letak posisi softbox dan reflektor sembari memfoto modelnya. Ia ingin menyulap kulit modelnya yang sawo matang jadi putih seperti porselen. Setidaknya itulah permintaan sang model.

Sejam lebih aku menunggu Baskara menyelesaikan pekerjaannya. Mengamati bagaimana ia memperagakan keahliannya.

Sebagai anak dan cucu dari seorang perwira tentara, harusnya dengan mudah ia bisa berkarir di militer. Apalagi tubuhnya tegap dan tidak buta warna. Namun ia tak mau. Minatnya pada fotografi sejak kecil terlampau besar. Minat itu pulalah yang kini mengantar Baskara menjadi fotografer handal. Bayarannya 10 juta rupiah untuk satu sesi foto selama satu jam.

Pertama kali aku mengenal Baskara adalah saat menghadiri resepsi pernikahan anak teman Om Riyanto, adik bapakku. Baskara adalah fotografer kedua mempelai. Bukan perjumpaan yang tak disengaja tentunya. Semua telah diatur. Demi kepentingan negara.

Baskara tak pernah menyadari bahwa ia merupakan sosok penting saat ini. Informasi darinya bernilai tinggi. Ia adalah aset negara yang harus dijaga. Setidaknya sampai misi kami sukses.

Munardi Sostrowidjoyo adalah sosok yang membuat Baskara jadi penting. Ia adalah Kakek Baskara, dari pihak ayahnya. Munardi merupakan salah seorang pendiri BRANI, badan intelijen negara Indonesia yang pertama. Namanya mungkin tak setenar Kolonel Zulkifli Lubis yang menjadi kepala lembaga itu. Namun Intelijen tetap Intelijen. Harus ada sosok yang tak masuk radar, bersedia tak dikenal, walau ia penting.

“Lentera.” Suara Baskara membuatku kembali terjaga dari bosan.

“Ngantuk ya?”

“Sedikit. Udah selesai?”

“Sudah.”

“Yuk.”

“Kemana?” Baskara tampak penasaran.

 Aku tersenyum. "Ada deh."




Scene 5 - Kota Angin

Aku pernah bertemu dengannya. Sekali. Saat itu aku melihatnya sedang duduk sendiri, membaca buku sambil mengunyah roti yang dibawanya. Ia menunggu giliran timnya bertanding. Beradu otak dalam sebuah pertandingan cerdas cermat antar sekolah dasar.

Ketenangannya mendadak terganggu saat dua anak laki-laki dari tim lain menjahili seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang sedang melintas membawa seekor kucing belang berwarna campuran oranye dan hitam. Ia langsung berdiri, melempar buku yang sedang dibacanya ke jidat salah satu dari dua anak pengganggu tadi. Kemudian memukul anak yang satunya lagi dan lalu memelototi keduanya. Kedua anak tadi lantas pergi dengan wajah kesal. Sementara ia datang menghampiri si bocah perempuan.

“Kamu gak apa-apa?” tanyanya sambil memberikan sisa rotinya pada kucing belang.

“Gak apa-apa.”

“Okay. Aku tinggal dulu ya.” Ia lalu pergi karena timnya dipanggil untuk segera bertanding.

Aku menonton lomba cerdas cermat yang diikutinya sampai selesai. Aku senang saat tahu timnya akan  masuk final. Wajahku takjub saat ia berhasil melahap hampir seluruh pertanyaan juri yang ditanyakan padanya. Menunjukan bagaimana kecerdasannya.

Sayang, laporan dua anak yang ia pukul tadi membuat timnya harus didiskualifikasi.

Aku menghampirinya. “Tim kamu kalah ya gara-gara tadi belain aku?”

“Gak apa-apa. Kan masih ada tahun depan. Aku bisa ikut lagi.” katamu sambil tersenyum.

“Kalau tahun depan ada anak nakal ganggu kayak tadi lagi gimana?” tanyaku.

“Ya aku lawan lagi kalau sampai kamu diganggu lagi.”

“Nanti jadi kalah lagi dong?”

“Gak apa-apa. Hidupkan bukan soal kalah dan menang saja. Masih banyak hal seru lainnya.”

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Sejak saat itu aku menyukainya. Menjadi fans nomor satunya.

Aku tak tahu namanya. Tak sempat memperhatikannya tadi, tak sempat juga menanyakannya. Yang aku tahu ia memiliki lesung pipi di sebelah kanan pipinya. Hanya di kanan.

***

“Dah sampai mana nih kita?” tanyamu sambil mengucek mata dan membenarkan posisi duduk.

“Aku ketiduran ya?”

“Iya.”

“Majalengka. Sebentar lagi sampai kok tujuan kita.”

“Wow, Majalengka. Kota Angin.”

“Iya. Tahu. Makanya aku ajak kamu kesini.”

Kamu lalu membuka jendela mobil. Menghirup angin yang ada diluar dalam-dalam. Hingga paru-parumu penuh. Sebuah ritual bagi kamu. Menghirup dalam-dalam angin dari kota yang baru kamu singgahi.

“Maaf ya, jadi kamu yang nyetir.”

“Gak apa-apa. Kamu pasti capek habis seharian foto-foto.”

“Kenapa gak cari asisten sih?” Tanyaku.

“Beda sensasinya kalau ngerjain sendiri sama dibantuin orang.”

Udara dingin kian menusuk tulang. Sementara kabut yang turun mulai mengurangi jarak pandangku.

“Ini kita ke gunung ya? Aku gak bawa jaket lho.”

“Tenang aja. Semua perlengkapan sudah aku siapin di bagasi.”

Aku mulai melambatkan laju mobil. Membawanya menepi.

“Mobil kita cuma bisa sampai sini. Selanjutnya kita mesti jalan kaki buat nanjak ke atasnya.”

“Hah, serius?.” Kamu tampak khawatir.

“Iyalah. Serius.” Jawabku santai.

"Kamu pernah mendaki gunung cermai sebelumnya?"

"Belum."

Wajahmu pucat. Kamu menelan ludah mendengar jawabanku.

***

Hawa dingin membekap tubuh. Mengaktifkan senyawa hangat yang sebelumnya diam di bawah lemak kulit. Tapi angin terlalu dalam menusuk tulang. Hangat tubuh tak kuasa melawannya. Baskara yang biasanya bersahabat dengan angin pun kali ini merasakan deritanya. Tapi biarkan. Aku ingin ia belajar. Bahwa dia yang kita cintai, sesekali bisa juga menyakiti.

Malam kian dalam, pagi sebentar lagi datang. Mentari, ia bisa jadi juru selamat kami.

“Kamu dapat ide dari mana sih, kok tiba-tiba ngajak naik gunung?” Asap yang keluar dari mulut Baskara lumayan menghangatkan mukaku.

“Kamu gak bosan apa foto cewek-cewek cantik terus? Sekali-kali foto alam dong.”

“Alam? Mbah dukun?” Tanyamu menggoda.

“Ih, apa sih. Jayus tau.” Jawabku cemberut.

“Btw, itu alasannya?”

“Iya. Aku pengen kamu coba sesuatu yang baru aja.”

“Tapi foto alam uangnya gak sebanyak foto model.”

“Iya gak apa-apa. Sesekali. Buat fun aja.”

“Oke.” Kamu tersenyum. Merangkul tanganku.

Aku diam.

“Sebenarnya, aku hanya ingin kamu punya pengalaman yang bisa benar-benar kamu kenang bersamaku Baskara. Jika nanti aku pergi.” Ucapku dalam hati. Sembari memandang wajahnya lekat.

***

Cahaya tipis segaris mulai tampak di langit. Kami pun mulai jauh meninggalkan pos pendakian pertama. Sejumlah ladang sayur petani telah kami lewati tadi.

Selepas ladang sayur, udara kian sejuk karena tingginya vegetasi di jalur pendakian pertama. Daun-daun kering basah bergerisik di sepanjang jalur setapak. Bau tanah basah, daun-daun segar, embun dan kehangatan sinar mentari yang baru mulai mengintip dari balik pucuk-pucuk pohon menyegarkan nafas kami.

Perjalanan di jalur pendakian pertama ini relatif santai, karena medannya tidak terlampau terjal. Sesekali bahkan terdapat sejumlah jalur datar. Kicauan burung mengiringi langkah kami yang akhirnya tiba di pos pendakian kedua, simpang lima. Ketinggiannya 1908 mdpl. Saat kami tiba disana setidaknya telah terdapat tiga tenda berkapasitas empat orang yang telah didirikan. Dua berwarna kuning dan yang satu berwarna oranye. Seorang pendaki yang sedang menyeduh teh di depan tendanya yang berwarna oranye menyapa kami. Menyuruh kami mampir sejenak. Ikut menikmati teh hangatnya.

Aku meminumnya perlahan. Menikmati sensasi hangatnya membasahi kerongkonganku yang kering. Sementara kamu telah sibuk dengan kameramu. Bahagia sekali. Seperti saat kamu berhasil menjawab satu persatu pertanyaan yang juri berikan dalam lomba cerdas cermatmu dahulu. Senyummu begitu merekah. Dadamu mengembang.

***

To be continued lagi.