Minggu, 05 Juni 2016

Hujan pertama di bulan Juni

Arie menutup kedua lubang hidungnya. Ia tidak suka bau carbol rumah sakit. Aroma yang meski harum, namun mampu membuat indera penciumannya itu terluka. Bau yang jika ia hirup terlampau dalam, membuat dadanya sesak. Perih sekali. Beberapa kali bahkan membuatnya harus hilang kesadaran. Pingsan hingga berhari-hari.

Hanya bau perfume vanilla milik Diana saja yang membuatnya mampu kembali tersadar. Tapi sekarang ia tak boleh pingsan lagi. Perfume itu sudah habis ia hirup demi menjaga asanya selama dua tahun belakangan ini. Sial pikirnya. Tahu gitu dulu ia tanya dimana Diana membelinya.

Matanya sempat terpejam. Lalu kembali terjaga. Ia paksakan kedua bola matanya itu untuk terus berkedip. Fokusnya hanya pada sosok wanita yang saat ini sedang terbaring di tempat tidur. Dokter bilang, ia akan segera siuman. Bangkit dari tidur panjangnya. Arie lalu mencoba mengingat, apakah ia menciumnya sehari yang lalu?. Jika tidak, bagaimana mungkin si putri tidurnya itu tersadar.

Tekad kuat Arie ternyata tak mampu membendung raganya yang sudah lelah. Matanya sedikit demi sedikit menutup. Dan tak sampai hitungan kelima, ia sudah terlelap. Masuk ke dunia mimpinya.

Ia kembali pada memorinya dua tahun yang lalu.

Saat itu pikirannya sedang sumpek. Capek dengan segala permasalahan yang ada di kantornya. Mulai dari bos yang brengsek, teman kantor yang suka menjilat, sampai sahabatnya yang berkhianat. Menjelek-jelekannya kepada semua orang yang ada di kantor. Ia bilang Arie pencuri. Entah sudah berapa rupiah uang perusahaan yang masuk ke rekening pribadinya. Hampir seluruh rekan kerjanya di kantor percaya fitnah itu. Di mata mereka kini tak ada lagi Arie si ramah. Si rajin. Si baik. Cap buatnya hanya satu. Arie si penipu. Pencuri uang perusahaan.

Bagi Arie, hiburannya kini hanya satu. Rumah. Tempat ia bisa berkeluh kesah. Pada Diana. Cintanya.

Namun entah kenapa, menurut Arie, Diana sudah berubah. Tak seperti dulu. Tidak lagi mau jadi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Wanita yang selalu menurut atas apa pun keinginan dan perintahnya. Diana yang sekarang lebih cuek. Acuh tak acuh pada dirinya.

Jika dirunut, kelakuan aneh Diana itu sudah terjadi sejak tiga bulan yang lalu. Saat dia mulai rajin duduk di teras rumah. Menunggu kehadiran pak pos. Orang yang setiap seminggu dua kali mengirimkan surat ke rumah. Dan semuanya untuk Diana.

Iseng-iseng Arie coba melihat isi surat untuk Diana. Hal yang ia tahu sebenarnya tak boleh dilakukan. Tindakan yang ia sadari telah merebut ruang privasi istrinya. Tindakan yang Diana pasti tak pernah lakukan atas apa pun barang pribadi miliknya. Termasuk pada buku harian usangnya yang berwarna hijau tua. Buku harian yang ia simpan rapat-rapat di bawah lemari bajunya. Buku yang berisi daftar wanita yang pernah ia cintai. Termasuk juga puisi-puisi rahasianya.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia sudah kepalang penasaran.

Diambilnya sepucuk surat. Pengirimnya adalah Tyo. Mantan pacar Diana. Cinta pertamanya.

Pikiran Arie kian kalut. Rumah yang sebelumnya ia jadikan benteng terakhirnya dalam mencari ketenangan mendadak runtuh. Hatinya hancur. Diana mengkhianatinya. Pantas saja sekarang dia tak diperhatikan. Tak dianggap. Diana lebih sering bersama surat-suratnya itu, dibandingkan berbincang dengannya.

Diana terkejut saat ia dapati Arie sedang membongkar barang pribadinya.

Tertangkap tangan tak lantas membuat Arie menyesal. Amarah membuatnya melupakan kata maaf yang seharusnya ia ucapkan. Ia justru marah. Seribu kata kasar lalu meluncur dari mulutnya. Mulai dari istri tak tahu diri. Pengkhianat. Dan lainnya.

Sebuah tamparan di pipi Diana menjadi penutup amarah Arie sore itu. Tamparan yang saking kencangnya membuat tubuh Diana terhempas. Kepalanya sempat membentur ujung tempat tidur sebelum akhirnya tersungkur di lantai kamar. Diana tak sadarkan diri.

Suara hujan di luar rumah menyamarkan kekerasan yang baru saja Arie lakukan. Menyembunyikan dari tetangganya.

Hujan pertama di bulan juni itu pula yang kelak akan menjadi pengingat baginya. Momen dimana ia kehilangan istrinya. Bukan secara harfiah tentu saja.

***

Arie membuka matanya. Perlahan ia mulai kumpulkan kembali kesadarannya. Ia terperanjat saat mendapati tubuh Diana tak ada di tempat tidur. Ia kaget setengah mati. Digerakannya bola matanya itu ke kanan dan ke kiri. Namun tidak ada juga sosok Diana.

“Mas.” Ia mendengar sebuah suara dari arah belakang tubuhnya. Suara yang ia kenal betul. Suara istrinya. Diana.

“Ya.”

“Aku disini Mas.” kata Diana pelan.

Arie membalik tubuhnya. Ia melihat Diana sedang duduk membelakanginya. Menatap ke jendela. Melihat hujan sedang menyirami bunga-bunga di pekarangan belakang rumah sakit.

“Maafkan aku Diana.” ucap Arie mengiba.

 “Aku waktu itu panik. Aku termakan amarah.”

“Gak apa-apa mas.” jawab Diana. Suaranya datar. Tak seperti orang yang memaafkan. Lebih kepada wanita yang tak mau urusannya jadi panjang.

“Aku sudah baca seluruh surat itu. Maaf aku sudah salah sangka.”

“Iya Mas.” jawab Diana masih datar. Namun kali ini terasa ada intonasi kemarahan dalam suara singkatnya itu.

“Bulan lalu Tyo akhirnya meninggal. Ini surat terakhirnya untukmu.” Arie mendekat, lalu menyerahkan sebuah surat dengan amplop putih dari balik saku celananya.

Diana menerimanya.

“Ayo kita pulang mas.”

***

Sejak masuk mobil hingga sampai di rumah, Diana belum mengucapkan satu patah kata pun. Arie juga tidak berusaha menegurnya. Ia memberinya ruang untuk sendiri.

Diana belum mau masuk ke dalam rumah. Ia memohon untuk dibiarkan duduk di teras. Arie pun membiarkannya menyendiri disana. Sementara ia mulai merapihkan kamarnya. Kamar yang punya sejuta cerita untuk dirinya dan Diana. Termasuk kisah tragis itu. Juga kisah-kisah selanjutnya.

Arie mulai mengingatnya. Saat ia membaca lembar demi lembar surat milik Diana.

Dimulai saat Tyo bercerita bahwa ia terkena Leukimia. Usianya tak lebih dari enam bulan lagi. Ia menyatakan permohonan maaf untuk Diana. Maaf atas apa yang telah ia lakukan padanya. Meninggalkannya demi seorang pramugari muda yang ia temui saat pulang dinas dari Atambua.

Tyo mendoakan agar hubungannya dengan Arie langgeng. Jangan sampai Diana di kemudian hari termakan rayuan pria nakal seperti dirinya. Diana mengamininya. Ia berterima kasih pada Tyo yang telah mengingatkannya.

Diana kemudian bercerita bahwa ada seorang pria yang sedang mengganggunya, tapi ia tak memperdulikannya. Fokusnya hanya pada Arie. Ia tahu Arie sedang kesulitan di kantornya. Ia ingin menceritakan tentang pria itu pada Arie, namun takut justru akan jadi tambahan beban buat Arie. Maka ia urung menceritakannya. Tyo bilang langkah itu sudah tepat.

Tyo punya satu permohonan ke Diana. Tyo ingin Diana membantu masalah hak warisnya. Ia ingin memastikan 75 persen hartanya jatuh ke Tyas, anaknya. Sisanya baru dibagi rata antara istri dan adik-adiknya. Diana pun menyanggupinya.

***

Mata Diana lurus menatap ke depan. Tepat di hadapannya sekelompok anak kecil sedang bermain hujan-hujanan. Namun fokusnya bukan kesitu. Pikiran Diana sedang menyusuri lorong waktu. Kembali di saat sebuah tamparan keras menghantam pipinya.

Dalam sepersekian detik sebelum kepalanya membentur ujung tempat tidur, banyak sekali kenangan yang meluncur bebas di pikirannya. Salah satunya saat Arie melamarnya. Mendatangi ibunya. Ia berjanji akan membahagiakan Diana. Tak akan pernah menyakitinya. Baik hati maupun fisiknya.

Tetes air mata meluncur saling bersusulan dari kedua mata Diana. Seolah sedang balapan dan ada pada lap terakhir, keduanya tak mau kalah. Kedua pipi Diana pun basah air mata. Tapi ia sengaja tak menyekanya. Diana membiarkan sensasi kesedihan menyelimuti dirinya. Sementara itu, sebuah surat terakhir dari Tyo masih digenggam erat di tangan kanannya.

Ia memberanikan diri membukanya. Diana takut Tyo marah padanya. Marah karena tak pernah lagi membalas surat dari Tyo sejak kejadian itu.

Diana membaca surat terakhir dari Tyo.

Dear Diana,


Menanti kabar darimu menjadi siksa sekaligus obat bagiku. Siksa karena batinku tak tenang. Obat karena vonis dokter yang bilang usiaku hanya tersisa enam bulan ternyata keliru. Aku bisa bertahan hidup hampir dua tahun. Aku menanti kabarmu Diana.


Oh iya, masalah hak waris sudah beres. Kau tak usah repot-repot membantunya. Pengacaraku sudah menyelesaikannya.


Diana, aku merasa usiaku sudah sampai ujungnya. Mungkin ini akan jadi surat terakhirku. Jadi dimana pun kau berada. Aku harap kau baik-baik saja.


Your friend, Tyo.

Air mata Diana kembali menetes. Namun kali ini bukan dari amarahnya, tapi dari rasa kehilangannya.

***

“Diana, ayo kita masuk. Sudah maghrib.” Arie membangunkan Diana dari lamunannya.

“Iya Mas.” jawab Diana datar.

Arie menggandengnya masuk ke dalam. Ia telah berhasil membawa pulang Diana kembali ke rumahnya. Tepat saat hujan pertama di bulan Juni, persis kala ia kehilanganya dahulu.

Namun Arie tahu, bahwa dia yg sudah pergi tak akan kembali lagi dalam wujud yang sama saat datang kembali. Arie siap dengan konsekuensinya. Ia sadar Diana tak akan kembali menjadi istrinya yang dulu.

Inspired by: Stop #KDRT

Jumat, 03 Juni 2016

Dear friend, are you already lost?

Tak pernah menyangka jika berbicara denganmu kini harus sesulit mendaki ceremai..
Tidak, bahkan lebih sulit..
24 jam sudah lebih dari cukup untuk mencapai puncak ceremai..
Tapi berbicara denganmu, butuh empat kali rotasi bumi.. Setidaknya, itu pun kalau tidak ada halangan.. Misalkan kau atau aku sedang pergi meninggalkan tugas..

Apakah masih bisa disebut hadir?, jika jarak yg ada di antara kita bukan hanya lagi dalam satuan tempuh, seperti meter, decimeter, centimeter atau milimeter, tapi juga satuan waktu, mulai dari detik, menit, jam bahkan hari..
Melihat sosokmu ibaratnya, mesti menembus ruang dan waktu terlebih dahulu..

Dengan segala kesulitan itu aku berharap masih bisa menjumpaimu.. menemui temanku.. bukan sekedar melihat seseorang yang hadir tanpa jiwanya yang bersahabat denganku..

Aku berharap matamu mampu menatap mataku lebih lama, layaknya sahabat yang merindu.. tak hanya sepersekian detik saja, karena merasa malu atau ragu..

Aku tak berharap hatimu tinggal di kotak yang sama dengan hatiku.. Tapi setidaknya bisa bermain bersama saat mereka bertemu.. Menari bersama, bernyanyi bersama, merasa bebas bercengkrama.. Bukankah gerak hati seorang sahabat, harusnya berdetak seiringan.. karena mereka saling merasakan..

Jiwa yang bersahabat, mata yang merindu dan detak yang seiringan, apakah mereka masih eksis kawan? Sebab jika tidak, aku rasa.. Aku telah kehilanganmu..

Ps: aku punya sejuta cerita baru yang belum aku ceritakan padamu. Sebab, belum ada waktu yang benar-benar kosong untuk menceritakannya. Waktu dimana, biasanya jiwaku yg berbicara padamu, bukan sekedar bibirku.. Ia hanyalah si pembawa pesan..

Aku merasa iba untuk mereka yang tidak mengerti cara bersahabat kita.. atau bahkan menghakiminya.. sebab aku tak yakin, apakah selama ini, mereka telah menemukan sahabatnya masing-masing.. ataukah mereka sebenarnya belum memiliki sahabat sejauh ini?

Psnya Ps: Hatiku berdetak kencang menulis ini, ia memanggilmu, berteriak.. Tapi kau tak mendengarnya.. Mungkin karena tidurmu terlalu lelap..