Selasa, 13 September 2016

MEREKA YANG SPESIAL

Berapa banyak mereka yang spesial buatmu?. Lupakan soal Ibumu, Bapakmu serta saudara sedarahmu yang lain. Coret juga mereka yang pernah ada di hatimu lalu melukainya. Mereka yang tak pernah benar-benar mencintaimu. Nah, sekarang jawab! Tersisa berapa?.

Merekalah yang spesial.

**

Masih dalam proses belajar nulis non-fiksi. Kali ini gw mau angkat topik soal mereka para sahabat. Ide tulisan ini gw dapat saat ngobrol santai dengan Nana, salah satu teman di kantor. Dalam percakapan singkat itu gw melontarkan kalimat bahwa gw sudah merasa cukup jika punya teman baik 3-4 orang saja. Tapi buat Nana itu gak cukup. Nana suka punya banyak teman. Angka 300 pun terlontar. Ke semuanya ia harapkan bisa jadi teman baik. Amien dalam hati gw mendoakan.

Setiap orang tentunya punya standar dan selera masing-masing dalam memilih teman pun berteman. Buat gw, eksklusivitas itu penting. Motto gw, i don’t care with everybody, i just care with my buddy.

**

Roda waktu terus berputar. Dalam setiap masanya ada yang hadir lalu hilang. Tapi mereka yang spesial tetap tinggal. Tak secara raga kadang, namun jiwa terus ada.

Romy adalah mereka yang spesial pertama buat gw. Ia satu dari sekelompok teman dekat gw kala TK, SD sampai SMA. Ada Ratih, Chandra lalu Ayu juga. Tapi Romy kemudian mencuat jadi spesial yang pertama. Momen seorang teman jadi yang spesial tentunya beragam. Tak pernah sama.

Romy tak cerdas. Kadang cenderung bodoh. Tapi ketulusannya, belum pernah ada yang menandinginya, bahkan hingga saat ini.

Lampu kuning terang menyala di atas kepalanya. Saat itulah gw sadar ia jadi spesial yang pertama. Masa disaat mantan kekasih gw berkata. Ayo kita pergi ke Malang. Bahagia bersama disana.

Mendengar hal itu Romy segera cari cara. Ia kumpulkan semua yang ia punya. Rupiah demi rupiah yang ada. Lalu diberikannya pada gw, sebagai bekal gembira katanya. Tak lama kekasih gw itu kemudian pergi. Menuju tanah bahagianya sendiri. Namun Romy tetap tinggal, menjadi si penggembira.

*

Irfan adalah mereka yang spesial kedua buat gw. Kakaknya pintar banget, adiknya cantik banget. So irfan jadi nothing buat keluarganya. Tapi buat gw, dia spesial.

Hadir bersama Edi dan Alip, Irfan muncul jadi yang spesial pas kuliah. Punya feeling dia bakal jadi mereka yang spesial?. Nggak sama sekali. Irfan justru jadi cowok pertama yang pengen gw gebukin pas kuliah. Songong abis. Rajanya nyela. Tipikal Bombom, kakaknya Lala di film Bidadari.

Tapi mereka yang spesial selalu punya caranya sendiri untuk masuk dalam lingkaran.

Lampu Irfan menyala saat malam itu dia datang ke kostan gw. Menyerahkan sejumlah uang. Katanya buat bekal sukses lo bro. Jadi ketua BEM. Jumlah yang jika dihitung bisa buat bayar sewa kantor sekretariat selama tiga bulan. Thanks bro, kata gw. Next posisi apa pun yang lo mau di kabinet tinggal bilang. Tapi jawaban dia, “kita gak butuh yang kayak gituan bro, pokoknya pas lo udah sukses, kita maunya kapan pun kita panggil lo untuk main, lo harus datang. Itu aja”. Gw diem. Bingung mau ngomong apa. “Ya” jawab gw lirih.

Gw kemudian gagal jadi ketua BEM. Pemilihannya di boikot pihak rektorat. Tapi gak masalah. Karena gw dapat yang lebih abadi. Bukan jabatan yang cuma setahun, tapi sahabat yang akan selalu ada bertahun-tahun. Hingga saat ini. 16 tahun berselang, and still counting.

*

Olivia (bukan nama sebenarnya) masuk daftar mereka yang spesial berikutnya. Gw menemukan dia setelah sembilan tahun masuk dunia kerja. Berbeda dari kedua spesial sebelumnya, pertama kali ketemu Olivia gw langsung sadar. Dia bakal jadi yang spesial. Chemistrynya parah. Bunyi klik, langsung terdengar, bahkan sebelum kata pertama keluar dari mulutnya.

Olivia hadir bersama Lidya, Nunu, Joan dan Lisa.

Btw gw selalu menghargai orang pertama yang menegur gw secara tulus pas gw mulai memasuki sebuah komunitas baru. Dan kala itu, hari kedua. Teguran tulus Olivia jadi pertama yang gw dengar ditempat itu.

Intermezo..

Dulu pas SMA ada satu cewek yang melakukan hal itu. Namanya Nur Aini Rahman. Cantik banget. Sayang kala itu ego gw terlalu tinggi. Kalau ada kesempatan lagi, pengen rasanya gw mengenal dia lebih dalam.

Pas kuliah, ada satu cewek yang melakukan hal itu. Namanya Winda Irawan. Cewek tomboy abis. Dia suka banget jadi bahan bullyan. Gw yang sebenarnya juga termasuk si tukang bully punya pengecualian buat Winda. Gw gak pernah sedikit pun nyolek dia. Termasuk seluruh teman-teman gw. Buat gw, dia mesti dilindungi.

Kenapa gw sangat menghargai orang yang tulus negur gw di saat awal gw mulai masuk komunitas baru?. Jawabannya karena mereka adalah orang-orang yang menerima gw sebenarnya. Bukan mereka yang menerima gw setelah gw menggunakan banyak topeng di wajah.

Buat Olivia, di kantor gw adalah segala. Dia selalu ngajak gw sebat (baca: ngrokok), umumnya gw selalu mau. Kalau nggak mau, biasanya dia maksa, baik lisan maupun via japri. Nah kalau benar-benar nggak mau, barulah dia cari teman yang lain. Perlakuan dia yang menjadikan gw pilihan pertama dibandingakn yang lain di kantor sangat gw hargai. Maka apa pun permintaannya, jika gw masih sanggup pasti akan selalu gw turutin.

Gaya dia menurut gw saat ini di kantor terlihat di pasangan Ani dan Yanto. Buat Ani yang tertutup, Yanto adalah segala. Ia selalu jadi pilihan yang utama dibanding yang lain. Ani baru memilih yang berbeda jika Yanto tak ada.

*

Joan (bukan nama sebenarnya), jadi mereka yang spesial terakhir sejauh ini. Butuh waktu lama buat gw menyadari bahwa dia adalah yang spesial berikutnya kala itu. Dua tahun lebih dan akhirnya gw baru sadar, she’s special.

Lampu kuning terangnya menyala saat ia menceritakan kisah orang tuanya. Ada haru yang dalam gw rasakan saat itu. Begitu dalam hingga gw mengucap kalimat ini dalam hati “Gw harus buat dia bahagia”. Dan entah kenapa, selalu ada rasa happy yang gw rasakan saat berusaha melindungi Joan dari orang-orang nggak baik, atau juga saat gw coba melakukan sesuatu yang bisa ngbuat dia senang. Dari Joanlah gw belajar berkorban untuk mereka yang spesial. Ke depan, ada satu hal yang harus gw lakukan demi dia. Meluruskan segalanya. Walau untuk itu gw mungkin harus kehilangannya.

Hilang, tapi bukan berarti benar-benar tak ada kan.

Banyak teman-teman cewek gw yang nanya, “Kenapa sih lo belain Joan banget?”. Jawaban gw klise, “Yah, namanya juga teman”.

Dalam hati gw pengen jawab, “Lo semua beruntung. Kalian tahu efek psikologis dari kehilangan sosok bapak buat anak perempuan. Gede banget. Salah satunya kepercayaan diri.”

Joan pernah cerita. Pas SMA ada seorang pria yang ia suka, begitu pula si pria pada Joan. Namun ia tak berani mengikat cintanya. Alasannya dia malu, jika si pria tahu ia tak punya bapak. Entahlah, atau mungkin juga ia ragu akan kehadiran seorang pria di hatinya.

Tak adanya seorang bapak buat anak perempuan menurut gw juga berpengaruh besar pada sulitnya ia menemukan contoh nyata seorang pria yang benar-benar sayang padanya. Dia jadi gak tau gimana rasa hangatnya pelukan pria yang tulus sama dia. Layaknya pelukan bapak pada anak perempuannya. Karena gak tau itulah, jadi dia gak bisa nyamain pas udah gede, saat laki-laki meluk dia, mana rasanya hangat yang tulus sama mana yang tidak.

Gw sayang banget bapak gw. Begitu sayangnya, hingga gw gak tau apa yang harus gw lakukan jika nggak ada dia. Pokoknya bapak adalah My MVP in the world lah. Atas dasar itu gw berusaha menyelami perasaan orang yang tidak dianugerahi seorang bapak, terutama saat masa kecilnya. Terlebih anak perempuan. Itu alasan kenapa gw begitu sayang sama Joan.

Menjadikan Joan sahabat adalah opsi terbaik gw, karena pastinya gw gak bisa jadi bapaknya Joan. Selain kurang tua, wajah gw juga gak mirip. Justru bahaya kalau sampai gw ngaku-ngaku jadi bapaknya.

**

Apa yang gw tulis ini cuma setitik kisah dari lautan cerita yang ada soal mereka yang spesial. Intinya, gw sudah cukup puas dengan kehadiran mereka yang spesial di lingkaran pertemanan gw. Bersama mereka gw gak perlu lagi 300 teman seperti yang Nana inginkan.

Jika Tuhan yang menentukan siapa orang tua dan pasangan hidup kita. Maka mereka yang spesial adalah jodoh yang kita tentukan sendiri.

Inspired by: Nana and her friends.

Rabu, 07 September 2016

Cowok vs Pria

Yeaayy.., akhirnya nulis lagi setelah hampir tiga bulan vakum. Oh iya, kali ini gw mau coba nulis non-fiksi. Hahaha.., bukan genre gw banget sih sebenarnya, secara gw kan anaknya fiksi abis. Tapi ya sudahlah ya, dicoba aja. Btw tulisan ini bukan soal benar atau salah, cuma sebuah pemikiran dari sudut pandang gw aja.

Ide tulisan ini gw pilih setelah sebelumnya dapat informasi dari seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan televisi swasta di Jakarta. Tentang bagaimana rekan kerjanya memperlakukan dia. Teman gw cewek, sebut aja namanya Joan, sedang temannya cowok, sebut aja Ucok. Keduanya bukan nama sebenarnya.

Nah ini dia nih pegnya.

Suatu hari Joan cerita ke gw bagaimana dalam bekerja ia kerap diberikan beban pekerjaan yang lebih berat dari Ucok. Joan sih gak masalah sebenarnya. Dia cuma curhat aja. Tanpa ngeluh.

Ceritanya: Jadi pernah pas Joan kerja berdua bareng Ucok, ia dapat bagian pegang segmen 1, 2 dan 3. Segmen 1 biasanya berita headline yang fresh. Segmen 2 isinya Live. Segmen 3 paling-paling berisi berita rerun dari program sebelumnya.

(oke biar gak bingung gw jelasin sedikit ya, Joan dan Ucok adalah news producer. Mereka bertanggung jawab atas siaran berita yang berdurasi satu jam. Isinya 6 segmen. Tiap segmen durasinya antara 6-7 menit). Oke lanjut yaa.

Eiittss, tapi mendadak setelah rapat sore ada yang berubah. Joan jadinya kedapatan pegang segmen 1, 2 dan 6. Segmen 6 berisi liputan wajib yang harus dikerjakan secara seksama.

Joan sempat protes, kenapa begitu. Kalau memang Ucok gak pede pegang segmen 6 yang ada liputan wajibnya, kenapa gak dia pegang segmen 1, 2 dan 3. Lalu Joan pegang segmen 4, 5 dan 6. Tapi Ucok tetap bersikeras, pembagiannya seperti itu. Joan segmen 1, 2 dan 6, sementara Ucok segmen 3, 4 dan 5. Merasa akan percuma jika perdebatan dilanjutkan, lagipula waktu terus berjalan dan deadline makin dekat, maka Joan pun mengerjakan bagiannya. Begitu pula Ucok.

(btw nih, buat tambahan informasi. Segmen 4 dan 5, sama seperti segmen 3, biasanya sih hanya berita rerun dari program sebelumnya)

Itu dia pegnya. Sekarang lanjut kita bahas pemahaman soal cowok vs pria menurut gw.

Sebagai seorang laki-laki, sosok Ucok cowok abis. Mukanya kotak, garis wajah tegas, di sejumlah bagian badan ada tattonya. Hobinya pun masuk kategori extreme sport. Surfing.

Dengan gambaran yang ada pada dirinya, gw sih berharap, Ucok bisa lebih fair pada Joan. Atau bahkan berkorban. Dia cowok gitu lho. Bukannya laki-laki merasa bangga jika bisa lebih berguna buat perempuan. Kalau gw sih diajarinnya gitu. Entah Ucok. Kayaknya sih nggak.

Tapi kisah ini mengajarkan gw, bahwa cowok ternyata adalah hanya jenis kelamin. Sementara pria adalah sebuah identitas. Karakter atau sikap yang kemudian melahirkan tanggung jawab yang lebih. Karena pada akhirnya, seorang cowok belum tentu jadi pria, sedangkan pria pasti cowok.

***

Selain curhatan Joan soal Ucok, obrolan dua orang teman gw, Nana dan Lily juga menarik perhatian gw untuk dikomentarin.

Obrolan bermula saat Nana curhat ke Lily lewat telepon. Nana cerita soal pacarnya yang cemburu pada teman laki-lakinya yang bernama Bastian. Di balik telepon Lily bilang, yaelah kenapa juga pacar lo mesti cemburu sama Bastian, dia kan kayak “pere”. Keduanya lalu tertawa.

Gw tertarik sama obrolan ini karena kebetulan gw cukup kenal sosok Bastian. Dia teman gw dari masih muda dulu. Gw sendiri mulai mengenal sosok Bastian lewat cerita-cerita kehidupannya yang biasa dia ceritain ke gw.

Bastian satu ketika bercerita, bahwa dia pernah kabur dari jadwal tawuran sekolahnya demi nonton episode terakhir telenovela Esmeralda. Sontak semua orang yang dengar saat itu langsung komentar, edan lo ya sampai segitunya. Sebagian dari mereka lalu berpikir, cowok bisa segitu belainnya nonton Esmeralda. Dan dengan semua respon itu, Bastian hanya tersenyum. Lalu ikut menertawakan dirinya.

Bastian pun kemudian memilih tidak melanjutkan ceritanya, kisah bahwa satu jadwal tawuran yang dia hindari itu hanyalah sebuah kejadian dari belasan tawuran yang dia telah ikuti sebelumnya. Serta kisah di mana lebih dari puluhan tawuran yang telah berhasil ia hindari untuk terjadi. Bagaimana caranya?, jadi dulu waktu masih SMA sepulang sekolah Bastian sering tidak langsung pulang ke rumah. Dia sering terlebih dahulu main ke tempat dingdong. Dengan console game yang dimilikinya di rumah, Bastian sebenarnya tak tertarik main dingdong di sana. Ia lebih memilih bermain jackpot atau judi koin. Nah pada saat itulah ia kemudian berkenalan dengan sejumlah “pentolan” dari sekolah-sekolah yang menjadi musuh sekolahnya. Ia juga berteman dengan “jagoan kampung” di sekitar sekolahnya, umumnya mereka berprofesi sebagai “timer” angkot. Karena hubungan itulah, Bastian yang kala SMA kerap berangkat-pulang naik bus dan selalu berdiri di pintu belakang, bisa menghindari tawuran hingga tak terlampau sering. Itu semua karena hubungan pertemanan yang ia bangun secara tak sengaja di tempat dingdong. Basisnya, Auri-Simpang Depok pun jadi rute sekolahnya yang paling aman.

*

Berbeda dengan Ucok yang hobi extreme sport. Bastian justru suka masak. Nah ngomongin soal makanan ada yang menarik nih.

Mungkin tak banyak yang tahu ritual Bastian selama ini. Bahwa hampir tiap malam menjelang pulang kerja Bastian selalu menelpon istrinya. Bastian selalu bertanya apakah istrinya lapar? Lalu pertanyaan selanjutnya apakah di rumah ada makanan?. Konsekuensi dari dua pertanyaan itu adalah jika istrinya lapar dan tidak ada makanan maka Bastian harus memutuskan untuk membeli makanan atau memasak makanan setibanya ia di rumah. Tapi apa pun pilihannya, yang selanjutnya terjadi adalah Bastian akan makan malam sepiring berdua dengan istrinya. Bastian memanfaatkan betul momen makan bersama itu untuk menjalin komunikasi secara lebih intens. Sebab bagi Bastian, komunikasi memiliki peran sangat penting dalam sebuah hubungan.

*

Pada satu kesempatan lain Bastian bercerita bahwa dari pengalamannya, ia mengenal dua jenis laki-laki. Pertama laki-laki yang mengibaratkan perempuannya sebagai sebuah boneka, sementara yang kedua mengibaratkan perempuannya sebagai kaktus atau tumbuhan hidup lainnya.

Jenis laki-laki pertama adalah mereka yang sebenarnya hanya tidak ingin kehilangan apa yang telah dimilikinya. Boneka adalah simbol trophy buat mereka. Meski tak terlampau menyukainya, tapi mereka juga tak ingin ada yang mengambilnya. Jadilah si boneka hanya diletakan di lemari saja dengan sedikit perhatian yang diberikan. Dilihat atau dimainkan hanya sesekali saja. Laki-laki jenis ini suka sekali menggunakan kata “jangan”, seperti jangan sentuh, jangan ambil, dsb. Padahal kata “jangan” menurut psikolog tak bagus untuk kejiwaan. Makanya dianjurkan untuk meminimalkan kata “jangan” pada anak.

Jenis laki-laki kedua adalah mereka yang tahu betul, jika tak dirawat, maka tanaman yang mereka miliki akan mati. Sedangkan jika dirawat, selain membuat tanaman tetap hidup, jika nutrisinya cocok bahkan bisa membuat tanaman tumbuh kian besar. Karena rasa sifatnya tak mutlak, bisa konstan juga dinamis, mengecil atau membesar.

Berbeda dengan jenis laki-laki pertama yang suka bilang "jangan", jenis kedua lebih suka bilang "ayo", karena lebih menginisiasi. Mempertahankan bukan dengan melarang tapi mengajak sambil membuktikan bahwa ia tetap sebagai pilihan yang lebih baik. Jadi tak ada kalimat "jangan" pergi dengan dia, tapi pilihannya menjadi "ayo" ikut pergi dengan aku.

Entah dari mana Bastian belajar soal semua itu. Prediksi gw sih, Bastian dapat pelajaran itu dari telenovela Esmeralda yang ia bela-belain nonton, meski harus dicariin teman satu sekolahnya sore itu. Bastian selalu bilang, nggak ada satu pun wawasan yang nggak berguna. Makin bervariasi wawasan yang kita punya, tentunya akan jadi lebih baik.

Itu adalah sedikit kisah Bastian yang gw tahu. Mungkin masih banyak lagi kisahnya yang lain. Nanti deh kalau ketemu gw akan minta Bastian ceritakan kisahnya yang berbeda.

Untuk Nana dan Lily, jika mereka membaca sedikit kisah ini, seperti apa ya reaksi mereka?. Apakah keduanya masih akan menganggap Bastian kayak “pere” atau mungkin bisa mengubah penilaian mereka akan sosok seorang Bastian.

Bastian pernah bilang ke gw, kalau dia pada dasarnya cuma pengen jadi laki-laki yang asik aja. Mungkin akhirnya jadi keliatan berbeda kalau faktanya laki-laki kayak gitu ternyata jarang ada. Buat Bastian, bahagia aja gak cukup. Buat dia hidup yang ia jalani harus bahagia dan fun.

To be continued.

(Teaser: Bastian gak selalu kelihatan asik kok, banyak juga kisah ngeselin dan nakalnya, karena selain Esmeralda, Bastian juga suka serial F.R.I.E.N.D.S dan film Cruel Intention.)

Inspired by: Joan - Ucok & Nana - Lily