Senin, 16 Januari 2017

RAHWANA: THE SAD STORY (revisi)

Prolog.

Lima belas hari setelah purnama, ketika bulan mati dan malam menjadi sangat gelap, akhirnya ajal sang durjana itu tiba. Anak panah brahmastra melesat cepat dari busur yang ditembakan Rama. Mendarat tepat di jantung Rahwana. Membuatnya tersungkur. Diam, Rahwana coba menghimpun sisa-sisa nafasnya. Ia tahu, nyawanya telah sampai di kerongkongan. Tak akan lama lagi ia mampu bertahan.

Dalam gelisahnya menunggu kematian, Rahwana mendapati wajah Sinta dalam angannya. Wanita yang begitu ia cintai. Wanita yang membuatnya meluluhlantakan Alengka. Negeri yang ia sayangi. Beribu rakyatnya telah binasa, demi ego ia yang punya kuasa.

Rahwana meneteskan air mata.

Ia memanjatkan doa. Berbicara pada Sang Hyang Tunggal.

“Hukumlah aku beribu reinkarnasi dengan kesengsaraan. Buatlah itu jadi penebus dosaku. Buat itu tiada henti, sampai tak tersisa sebiji zarah dosa yang tersisa dari kesalahanku.”

“Dan jika sudah cukup semuanya terbayar. Maka aku hanya minta satu padamu Sang Hyang Tunggal. Jadikanlah aku jodoh Sinta. Sekali saja, dalam salah satu cerita kehidupanku.” Rahwana lalu menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengucap permohonannya.

Gelegar halilintar dan hujan deras langsung turun. Menhujam bumi. Menyambut kematian si pendosa.

*Bab 1 Namanya Rahwana*

Surabaya, Indonesia. 1993.

Asap rokok mengepul memenuhi ruangan tiga kali empat yang dipenuhi bertumpuk koran bekas. Udara lembab dan bau apek dari asap rokok membuat lima bocah yang ada di ruangan itu terbatuk-batuk. Namun takut membuat mereka menahan suaranya agar tidak terlampau nyaring.

“Ini bocah-bocah yang lo dapat dari malang?” Ujar seorang pria paruh baya bernama Kumba. Perokok berat yang mulutnya selalu dipenuhi asap rokok.

“Iya bos.” Jawab pria di sebelahnya bernama Aji.

“Berapa semuanya?” Tanya Kumba.

“Seorang lima juta bos. Jadi 25 semuanya.” Kata Aji sambil mencoba memasang mimik wibawa di wajahnya. 

“Taik. Bocah jelek-jelek gini 5 juta. Udah semua gw bayar 10 juta.” Hardik Kumba coba menjatuhkan nyali Aji.

“Yah, jangan bos. Nggak sebanding sama risikonya.” Aji langsung ciut.

“Nggak mau ya udah. Lo cari aja yang mau. Gw pergi kalau begitu.” Kata Kumba sambil membuang puntung rokoknya, lalu menginjaknya sampai padam.

“Jangan pergi dulu dong bos.” Aji buru-buru menahan laju tubuh Kumba.

“Naikin sedikit deh.” Rayu Aji.

“Oke. 12 juta. Kasihan gw sama lo.” Kumba melunak.

“Oke bos. Jadi.” Ujar Aji dengan muka senang sambil menjabat tangan Kumba yang sudah kembali menyalakan sebatang rokok.

“Nama lo siapa?” Tanya Kumba pada bocah yang paling dekat darinya.

“Andrew.” Jawab bocah yang umurnya belum sampai tujuh tahun itu.

“Wuihh, anak orang kaya lo kayaknya. Kalau lo siapa?” ia menunjuk bocah di sebelah Andrew.

“Benny.” Jawab bocah yang kelihatannya memiliki usia paling tua. Sekitar sembilan tahun.

“Kalau lo?”

“Alfar.”

“Cakep. Lo?”

“Heri.”

“Wah, suara lo bagus nih buat ngamen.”

“Nah lo siapa namanya?” Tanya Kumba menunjuk bocah yang terakhir.

Tidak ada jawaban. Bocah itu diam saja. Matanya fokus menatap lantai di bawahnya.

“Eh taik lo, jawab.” Kumba marah. Tangannya mengambil sepotong koran bekas, lalu melemparkannya tepat mengenai wajah si bocah.

Tapi seperti tak terjadi apa-apa, bocah itu tetap diam. Tidak bereaksi. Mata fokus menatap koran yang tadi mengenai wajahnya. Ia membaca tanggal yang tertulis di sudut kanan atas koran itu. 9 mei 1993. Lalu ia membaca berita yang ada di bawahnya, mayat Marsinah telah ditemukan di desa Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.

“Jawab lo. Nggak jawab gw gebukin.” Muka Kumba tambah memerah melihat reaksi bocah itu yang tidak takut sedikit pun.

“Jangan bos. Dia kayaknya bisu. Nggak bisa ngomong.” Aji coba menenangkan suasana.

“Anjing lo. Bocah cacat begitu lo kasih ke gw. Nggak jadi gw kasih lo 12.” Kumba masih dipenuhi amarah.

“Yah, jangan begitu dong bos. Oke deh 11 aja. Biar bisu juga dia rajin.” Aji coba menawar.

“Oke deh. Gw bikin buta aja nih anak. Biar jadi pengemis” Ujar Kumba penuh emosi.

“Nah cakep tuh bos.” Kata Aji coba menyenangkan pembelinya itu.

“Dimana lo nemu tuh bocah? Siapa namanya?” Kumba bertanya pada Aji dengan penuh selidik.

“Di daerah Blimbing bos. Ibunya baru meninggal sehari, bapaknya supir truk nyuruh gw bayarin tuh bocah 150 ribu. Ya gw ambil.” Aji coba menjelaskan sedetail yang ia tahu.

"Namanya Rahwana."



*BAB II Bertemu Sinta*

Suara detak jantung Rahwana terdengar nyaring. Ada ekspresi takut yang coba ia sembunyikan di wajahnya. Meski demikian matanya tak bisa bohong. Ia benar-benar sedang ketakutan.

Tubuh Rahwana terus meronta, ia coba melawan tali yang mengikat tangan dan kakinya.

Melihat tingkah Rahwana, Kumba hanya tersenyum. Ia merasa menang.

"Takut lo sekarang." Ia berbicara pada Rahwana. Sementara tangannya sedang membakar sebuah sendok dengan api lilin. Diputar-putarnya sendok itu terus agar panasnya merata.

"Ditaruh dimana ini bos?." Tanya anak buah Kumba bernama Nanang, sambil menunjukan botol alkohol yang dibawanya.

"Tuang ke baskom itu aja Nang." Jawab Kumba sambil menunjuk baskom kecil berwarna hijau.




Selasa, 10 Januari 2017

BELAJAR DARI KISAH PEWAYANGAN

Seminggu yang lalu, gw ngobrol dengan dua orang teman di kantor yang sama-sama penyuka kisah pewayangan. Mas Wahid dan Andika. Gw sendiri suka banget kisah pewayangan sejak kecil. Jauh sebelum gw kenal Harry potter atau komik super hero lokal karya Tatang S.

Dulu, gw selalu minta diceritain kisah Ramayana dan Mahabarata sebelum tidur sama bapak gw. Dia tentu dengan senang hati menceritakannya. Tapi syaratnya satu. Sambil mijitin kakinya. Favoritnya diinjak-injak.

Kisah pewayangan mengajarkan gw untuk open minded dalam hidup. Terutama saat menilai orang. Kita mesti melihat banyak angle. Kisah pewayangan mengajarkan bahwa tidak ada orang yang seratus persen jelek atau seratus persen bagus. Selalu ada satu dua kebajikan dari dominan sikap jahat seseorang, begitu pula sebaliknya.

Sebagai contoh, Duryudana. Anak sulung kurawa. Tokoh yang dianggap sangat jahat ini punya sifat jelek, yaitu iri dan dengki. Selain itu juga kasar dan tidak menghargai perempuan. Tapi satu sifat baiknya adalah dia seorang yang sangat setia kawan. Sifat itulah yang kemudian meluluhkan hati Adipati Karna, kakak tertua Pandawa dari beda bapak. Hingga akhir hayatnya, Karna tetap setia membela Duryudana. Ia pun harus rela melawan adik-adiknya untuk menjaga kesetiaannya itu. Karna tahu bahwa sejatinya ia berada di pihak yang salah. Fyi, nama Karna kelak jadi inspirasi orang tua proklamator kita menamakan buah hatinya. Soekarno.

Atau, Yudistira. Kakak tertua pandawa lima. Tokoh baik yang sangat dikagumi wakil presiden RI ke-11, Boediono. Dengan segala kebijaksanaan yang dimilikinya, Yudistira sesungguhnya adalah orang yang plin-plan. Menurut gw, ia merupakan orang yang paling bertanggung jawab akan terjadinya perang Bharatayudha. Perang besar antara Pandawa dan kurawa. Sikap plin-plan yudistira tak jarang membuat keluarganya dipermalukan. Salah satunya saat istrinya Drupadi akan ditelanjangi Duryudana di meja judi. Beruntung Dewa wisnu membuat kain penutup tubuh Drupadi tak bisa habis digulung.

Selain soal jahat dan baik, kisah pewayangan juga bisa jadi kajian kita untuk menilai banyak sifat yang dimiliki manusia. Salah satunya cinta.

Kisah Rama dan Shinta selalu menarik buat gw dari dulu. Bagaimana gw selalu mempertanyakan rasa cinta Rama pada Shinta.

Sebelum kita mendiskusikannya, gw akan merangkum sedikit kisahnya.

Pada satu masa, ada seorang pangeran tampan dari negeri Ayodya bernama Rama. Dia jatuh cinta pada puteri cantik asal negeri Mithila bernama Shinta. Kisah cinta mereka berjalan tanpa halang rintang yang berarti. Keduanya lalu jadi kekasih yang berujung pada pelaminan.

Dalam perjalanannya, Rahwana muncul. Rasa cintanya pada Shinta membuatnya berani melarikan istri Rama itu ke negeri Alengka, tempatnya berkuasa.

Lewat bantuan Hanoman, Rama kemudian bisa membunuh Rahwana dan merebut kembali Shinta ke Ayodya.

Namun gunjingan rakyat akan kesucian Shinta yang telah berbulan-bulan ditawan Rahwana membuat Rama melakukan ritual api suci. Membakar Shinta hidup-hidup. Shinta menangis melihat suaminya yang tidak mempercayainya. Konon tangisan Shinta membuat seisi alam bersedih. Namun karena kepatuhannya, ia tetap menjalani ritual itu. Shinta pun berhasil selamat dari kobaran api.

Tapi ujian itu ternyata belum cukup memuaskan hasrat Rama untuk mencari tahu penasaran di hatinya. Akibat gunjingan rakyatnya yang tiada henti, Rama kemudian membuang Shinta ke hutan. Bertahun-tahun berlalu, kemudian Shinta kembali ke istana. Rama kemudian menyadari kesalahannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kali ini Shinta marah dan hentakan kakinya membuat bumi terbelah menjadi dua. Ia lalu turun masuk ke perut bumi. Dan tidak pernah kembali lagi.

Kisah ini merupakan epos Ramayana versi India.

Dari kisah tadi gw berpikir. Saat Rama mati-matian mengambil kembali Shinta dari Rahwana, apakah itu dilandasi cinta?. Atau semata hanya karena ia berusaha melindungi egonya sebagai laki-laki. Bahwa “miliknya” tak boleh diambil orang lain.

Jika ia cinta, lalu mengapa kemudian Rama menyianyiakan shinta. Tak percaya pada Shinta. Ia justru lebih mendengarkan gunjingan rakyatnya. Bukankah cinta harusnya saling menguatkan sepasang kekasih. Membuatnya saling percaya dan saling jaga.

Kemudian gw tertarik akan cinta Rahwana pada Shinta. Berbulan-bulan mengurung Shinta di Alengka tentu Rahwana punya banyak kesempatan jika ingin berbuat jahat pada Shinta. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, tentu ia dengan mudah bisa “memaksa” Shinta menuruti kemauannya. Baik dengan ancaman atau dengan cara tak terpuji lainnya. Misalkan memperdaya Shinta lewat obat-obatan yang membuatnya hilang kesadaran atau efek buruk lainnya. Tapi nyatanya itu tak dilakukan Rahwana. Ia tetap menjaga kesucian Shinta.

Jadi cinta siapa sesungguhnya yang lebih besar pada Shinta?

Topik ini cukup seru kami perbincangkan saat itu. Sampai akhirnya, gw sadar lima menit lagi news update jam sembilan. Jadilah gw mesti bergegas menuju studio. Mengendalikan siarannya.

Meski tak selesai kami bahas tuntas topik ini, tapi sepertinya gw tertarik membuat kisah kehidupan Rahwana seribu tahun kemudian.

Ini sedikit teasernya.

RAHWANA

Prolog.

Lima belas hari setelah purnama, ketika bulan mati dan malam menjadi sangat gelap, akhirnya ajal sang durjana itu tiba. Anak panah brahmastra melesat cepat dari busur yang ditembakan Rama. Mendarat tepat di jantung Rahwana. Membuatnya tersungkur. Diam, Rahwana coba menghimpun sisa-sisa nafasnya. Ia tahu, nyawanya telah sampai di kerongkongan. Tak akan lama lagi ia mampu bertahan.

Dalam gelisahnya menunggu kematian, Rahwana mendapati wajah Sinta dalam angannya. Wanita yang begitu ia cintai. Wanita yang membuatnya meluluhlantakan Alengka. Negeri yang ia sayangi. Beribu rakyatnya telah binasa, demi ego ia yang punya kuasa.

Rahwana meneteskan air mata.

Ia memanjatkan doa. Berbicara pada Sang Hyang Tunggal.

“Hukumlah aku beribu reinkarnasi dengan kesengsaraan. Buatlah itu jadi penebus dosaku. Buat itu tiada henti, sampai tak tersisa sebiji zarah dosa yang tersisa dari kesalahanku.”

“Dan jika sudah cukup semuanya terbayar. Maka aku hanya minta satu padamu Sang Hyang Tunggal. Jadikanlah aku jodoh Sinta. Sekali saja, dalam salah satu cerita kehidupanku.” Rahwana lalu menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengucap permohonannya.

Gelegar halilintar dan hujan deras langsung turun. Menhujam bumi. Menyambut kematian si pendosa.