Dulu, gw selalu minta diceritain kisah Ramayana dan Mahabarata sebelum tidur sama bapak gw. Dia tentu dengan senang hati menceritakannya. Tapi syaratnya satu. Sambil mijitin kakinya. Favoritnya
diinjak-injak.
Kisah pewayangan mengajarkan gw untuk open minded dalam
hidup. Terutama saat menilai orang. Kita mesti melihat banyak angle. Kisah pewayangan mengajarkan bahwa tidak ada orang yang
seratus persen jelek atau seratus persen bagus. Selalu ada satu dua kebajikan
dari dominan sikap jahat seseorang, begitu pula sebaliknya.
Sebagai contoh, Duryudana. Anak sulung kurawa. Tokoh yang
dianggap sangat jahat ini punya sifat jelek, yaitu iri dan dengki. Selain itu juga kasar
dan tidak menghargai perempuan. Tapi satu sifat baiknya adalah dia seorang yang
sangat setia kawan. Sifat itulah yang kemudian meluluhkan hati Adipati Karna,
kakak tertua Pandawa dari beda bapak. Hingga akhir hayatnya, Karna tetap setia
membela Duryudana. Ia pun harus rela melawan adik-adiknya untuk menjaga kesetiaannya itu. Karna tahu bahwa sejatinya ia berada di pihak yang
salah. Fyi, nama Karna kelak jadi inspirasi orang tua proklamator kita
menamakan buah hatinya. Soekarno.
Atau, Yudistira. Kakak tertua pandawa lima. Tokoh baik yang
sangat dikagumi wakil presiden RI ke-11, Boediono. Dengan segala kebijaksanaan
yang dimilikinya, Yudistira sesungguhnya adalah orang yang plin-plan. Menurut gw, ia merupakan orang yang paling bertanggung
jawab akan terjadinya perang Bharatayudha. Perang besar antara Pandawa dan kurawa.
Sikap plin-plan yudistira tak jarang membuat keluarganya dipermalukan. Salah satunya saat istrinya Drupadi akan ditelanjangi Duryudana
di meja judi. Beruntung Dewa wisnu membuat kain penutup tubuh Drupadi tak bisa
habis digulung.
Selain soal jahat dan baik, kisah pewayangan juga bisa jadi
kajian kita untuk menilai banyak sifat yang dimiliki manusia. Salah satunya
cinta.
Kisah Rama dan Shinta selalu menarik buat gw dari dulu.
Bagaimana gw selalu mempertanyakan rasa cinta Rama pada Shinta.
Sebelum kita mendiskusikannya, gw akan merangkum sedikit
kisahnya.
Pada satu masa, ada seorang pangeran tampan dari negeri
Ayodya bernama Rama. Dia jatuh cinta pada puteri cantik asal negeri Mithila bernama Shinta.
Kisah cinta mereka berjalan tanpa halang rintang yang berarti. Keduanya lalu
jadi kekasih yang berujung pada pelaminan.
Dalam perjalanannya, Rahwana muncul. Rasa cintanya pada
Shinta membuatnya berani melarikan istri Rama itu ke negeri Alengka, tempatnya
berkuasa.
Lewat bantuan Hanoman, Rama kemudian bisa membunuh Rahwana
dan merebut kembali Shinta ke Ayodya.
Namun gunjingan rakyat akan kesucian Shinta yang telah
berbulan-bulan ditawan Rahwana membuat Rama melakukan ritual api suci. Membakar
Shinta hidup-hidup. Shinta menangis melihat suaminya yang tidak mempercayainya.
Konon tangisan Shinta membuat seisi alam bersedih. Namun karena kepatuhannya, ia tetap menjalani ritual itu. Shinta pun berhasil selamat dari kobaran
api.
Tapi ujian itu ternyata belum cukup memuaskan hasrat Rama untuk
mencari tahu penasaran di hatinya. Akibat gunjingan rakyatnya yang tiada henti,
Rama kemudian membuang Shinta ke hutan. Bertahun-tahun berlalu, kemudian Shinta
kembali ke istana. Rama kemudian menyadari kesalahannya. Tapi nasi sudah
menjadi bubur. Kali ini Shinta marah dan hentakan kakinya membuat bumi terbelah menjadi dua. Ia lalu turun masuk ke perut bumi. Dan tidak pernah kembali lagi.
Kisah ini merupakan epos Ramayana versi India.
Dari kisah tadi gw berpikir. Saat Rama
mati-matian mengambil kembali Shinta dari Rahwana, apakah itu dilandasi cinta?.
Atau semata hanya karena ia berusaha melindungi egonya sebagai laki-laki. Bahwa “miliknya”
tak boleh diambil orang lain.
Jika ia cinta, lalu mengapa kemudian Rama menyianyiakan
shinta. Tak percaya pada Shinta. Ia justru lebih mendengarkan gunjingan rakyatnya.
Bukankah cinta harusnya saling menguatkan sepasang kekasih. Membuatnya saling percaya dan saling jaga.
Kemudian gw tertarik akan cinta Rahwana pada Shinta. Berbulan-bulan
mengurung Shinta di Alengka tentu Rahwana punya banyak kesempatan jika ingin
berbuat jahat pada Shinta. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, tentu ia dengan
mudah bisa “memaksa” Shinta menuruti kemauannya. Baik dengan ancaman atau
dengan cara tak terpuji lainnya. Misalkan memperdaya Shinta lewat obat-obatan
yang membuatnya hilang kesadaran atau efek buruk lainnya. Tapi nyatanya itu tak
dilakukan Rahwana. Ia tetap menjaga kesucian Shinta.
Jadi cinta siapa sesungguhnya yang lebih besar pada Shinta?
Topik ini cukup seru kami perbincangkan saat itu. Sampai
akhirnya, gw sadar lima menit lagi news update jam sembilan. Jadilah gw mesti bergegas menuju studio. Mengendalikan siarannya.
Meski tak selesai kami bahas tuntas topik ini, tapi
sepertinya gw tertarik membuat kisah kehidupan Rahwana seribu tahun kemudian.
Ini sedikit teasernya.
RAHWANA
Prolog.
Lima belas hari setelah purnama, ketika bulan mati dan malam menjadi sangat gelap, akhirnya ajal sang durjana itu tiba. Anak panah brahmastra melesat cepat dari busur yang ditembakan Rama. Mendarat tepat di jantung Rahwana. Membuatnya tersungkur. Diam, Rahwana coba menghimpun sisa-sisa nafasnya. Ia tahu, nyawanya telah sampai di kerongkongan. Tak akan lama lagi ia mampu bertahan.
Dalam gelisahnya menunggu kematian, Rahwana mendapati wajah Sinta dalam angannya. Wanita yang begitu ia cintai. Wanita yang membuatnya meluluhlantakan Alengka. Negeri yang ia sayangi. Beribu rakyatnya telah binasa, demi ego ia yang punya kuasa.
Rahwana meneteskan air mata.
Ia memanjatkan doa. Berbicara pada Sang Hyang Tunggal.
“Hukumlah aku beribu reinkarnasi dengan kesengsaraan. Buatlah itu jadi penebus dosaku. Buat itu tiada henti, sampai tak tersisa sebiji zarah dosa yang tersisa dari kesalahanku.”
“Dan jika sudah cukup semuanya terbayar. Maka aku hanya minta satu padamu Sang Hyang Tunggal. Jadikanlah aku jodoh Sinta. Sekali saja, dalam salah satu cerita kehidupanku.” Rahwana lalu menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengucap permohonannya.
Gelegar halilintar dan hujan deras langsung turun. Menhujam bumi. Menyambut kematian si pendosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar