“Tidak bisa, kamu kan Kristen.” Gugat siswa yang badannya
paling besar.
“Iya. Ngga bisa. Kita yang mayoritas Islam, ngga mungkin
membiarkan kamu terpilih. Seberapa pun baik dan cakapnya kamu.” Timpal yang
lainnya.
“Jadi Lurah pun kamu tak bisa. Mama temanku yang Kristen,
jadi Lurah di Lenteng Agung aja ditolak.”
“Udahlah, kamu paling mentok jadi ketua RW saja. Itu pun
dengan syarat kamu tinggal bertetangga dengan mayoritas mereka yang satu agama.”
“Karena kita, muslim, tidak akan membiarkan kafir seperti
kamu memimpin kami. Kecuali di perusahaan tempat ayah dan ibu kami mencari makan
untuk kami.” Siswa yang badannya paling kecil menutup percakapan itu sambil
menerima cilok pesanannya.
Pilkada DKI 2017 telah membuka mata kita. Membuat kita
tersadar dari utopia yang selama ini kita saksikan dalam tidur panjang bernegara.
Mimpi akan kebhinekaan serta persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara
Indonesia. Cita-cita yang dirumuskan para bapak dan ibu pendiri bangsa.
Jika mata itu terbuka sebelum tanggal 17 Agustus 1945,
saya yakin tidak ada Indonesia yang sebesar sekarang. Karena orang manado,
ambon, kupang dan masih banyak daerah lainnya lebih baik mendirikan negara
sendiri. Setidaknya hal itu menjamin, jika kelak anak mereka bermimpi jadi
presiden, maka mereka bisa membantu mewujudkan mimpi anak-anaknya.
Saya teringat, sebuah percakapan antara pejabat
pemerintah yang datang ke daerah Sibolga di Sumatera utara pada era presiden
Soeharto. Saat seorang anak ditanya “Apa
cita-cita kamu dik?”
“Jadi presiden pak.” Jawab si anak.
“Ohh, bisa. Asal kamu belajar yang rajin.” Kata si
pejabat.
Bohong.
Kenapa tidak langsung saja di jawab. “Tidak bisa. Kamu Kristen.
Kecuali kamu masuk Islam dan jadi muallaf. Itu berarti kamu harus meninggalkan
Tuhan kamu untuk jadi presiden. Lalu menyembah Tuhan kami.”
Sebagian pembaca artikel saya mungkin saja akan marah.
Tidak suka, karena saya bicara blak-blakan. Tidak suka, karena saya
tidak ikut meninabobokan saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan.
Apakah saya membenci Islam? Tidak. Saya sangat mencintainya.
Begitu pula, saya mencintai bangsa ini, Indonesia.
Jika membiarkan kebohongan itu terus berlangsung dianggap
sebagai sumbangsih bagi kebesaran Islam, maka saya tak mau ikut serta. “Lalu apa
bukti kecintaanmu pada Islam?”, jika kemudian pertanyaan itu muncul, maka saya
akan tegas menjawab “Jika terjadi perang antara Islam dan Kristen secara global,
seperti perang salib misalnya. Maka InsyaAllah, saya akan berada pada barisan
paling depan. Jadi kelompok yang gugur paling awal.” (Catt: walaupun, perang
salib juga masih sangat debatable, apakah perang itu murni perang keyakinan,
atau besar unsur ekonominya)
Kadang saya selalu berpikir, apakah saya lahir lebih
cepat dari yang seharusnya. Apakah ini jaman yang tepat untuk saya hidup. Jika jawabannya,
tidak. Maka kenapa saya dilahirkan sekarang?. Apa tugas saya di jaman ini.
Siapakah saya sebenarnya? *mulai drama.
Tak banyak yang saya harapkan dari tulisan ini. Saya
hanya berharap kembali tertidur. Kembali bermimpi tentang Indonesia yang
berbhinneka tunggal ika. Merdeka!